Jakarta 14 Oktober 2017, eMaritim.com
Penantian pengumuman hasil seleksi Direktur Jenderal Perhubungan Laut sudah memasuki tahap akhir dimana 3 nama teratas yang diseleksi akan dipilih menjadi pemimpin lembaga yang paling maritim di negara ini. Harapan dan ulasan berbagai pihak bermunculan di media massa yang mengharapkan terpilihnya kandidat jagoan mereka. Adapun 3 nama yang masih tersisa adalah Ir.Agus H Purnomo ( Direktur Utama PT Industri Kereta Api (INKA), Johnson W Sucipto (Direktur PT Arial Bahagia), Dwi Budi Sutrisno (Sesditjen Perhubungan Laut).
Tidak bernaksud menyoal siapapun yang akan terpilih, tetapi kegelisahan simpatisan yang paling mencolok tampak dari Siswanto Rusdi (Namarin) yang malah memberikan komentar diluar konteks tersebut di sebuah media:
https://m.kontan.co.id/news_analisis/mencari-sosok-ideal-dirjen-hubla?page=1
"Sudah bukan rahasia lagi, bagi pegawai Ditjen Hubla yang tidak berlatar belakang pelaut peluang menapaki jenjang karier bisa jadi tertutup. Ditjen Hubla nampaknya hanya untuk pelaut dan hanya pelaut alumni pendidikan pelaut tertentu saja. Mereka yang berpendidikan dari berbagai lembaga pendidikan umum akan digergaji angin melalui office politics sehingga tak beranjak naik atau paling tidak statis di tempat.Tentu saja posisi Dirjen bukan posisi sembarangan; ia jauh di atas permainan itu"
Walau tidak secara langsung menyebut nama calon Dirjen Hubla yang diharapkannya, tetapi blunder komentarnya malah bisa melebar kearah yang kurang baik.
Tidak bisa dipungkiri bahwa Pelaut, khususnya Perwira Pelayaran Niaga adalah orang yang dimaksudnya dalam komentar tersebut. Selanjutnya ada kesalahan tafsir mendasar lainnya dengan mengatakan: "Ditjen Hubla nampaknya hanya untuk pelaut dan hanya Pelaut dari pendidikan pelaut alumni pendidikan tertentu saja".
Jelas nampak ketidak pahamannya membedakan arti Ditjen dengan Dirjen. Ditjen adalah Direktorat Jenderal (institusi) sementara Dirjen adalah Direktur Jenderal (Pejabat Tertinggi di Ditjen).
Kalau memang yang dimaksud Ditjen Hubla hanya dari isntitusi tertentu saja, maka itu adalah sebuah kesalahan besar lainnya. Ada lulusan berbagai sekolah pelayaran niaga yang ada di Direktorat Jenderal Perhubungan Laut saat ini, dan sudah ada semenjak dahulu. Mereka adalah orang orang yang memang sudah memilih jalan hidup menjadi insan maritim semenjak remaja, bukan sekedar bekerja disana. Mereka akan tetap menjadi insan maritim, siapapun pemerintahnya.
Tendensi negatif yang diulas di media tersebut bisa menyalahi KUHP Bab XVI Tentang Penghinaan, khususnya pasal 310 ayat 1 tentang Penistaan dan ayat 2 tentang Penistaan Dengan Surat.
Hal ini berbahaya dan berpotensi memecah belah Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, sesuatu yang mencederai sekelompok profesi di sebuah instansi. Sudah sangat lumrah apabila di Dirtektorat Jenderal Perhubungan Laut, mayoritas latar belakang pendidikan para pejabat disana adalah Perwira Pelayaran Niaga, Insinyur Perkapalan atau pendidikan lainnya.
Hal yang tidak aneh apabila di Kementerian Kesehatan latar belakang pejabat nya adalah profesi Dokter atau di kemeterian ESDM latar belakang mayoritas pejabatnya adalah insinyur pertambangan.
Sebagai salah satu Perwira Pelayaran Niaga, penulispun meyakini bahwa ucapan mendiskreditkan profesi tersebut tidak baik di saat pemerintah sedang giat membangun negara ini lewat program yang bernafaskan maritim. Penghinaan yang memenuhi aspek pidana sudah sempurna terjadi, dan itu sangat mencederai insan maritim yang dilakukan oleh seseorang yang mengaku maritim.
oleh: Capt. Zaenal Arifin Hasibuan