Para narasumber usai diskusi panel INSA dalam acara ITLMW 2017 di JIExpo, Kemayoran, Jakarta Pusat, Rabu (11/10) | Istimewa |
Jakarta, eMaritim.com � Kapal berbendera Indonesia kini telah menguasai pangsa pasar angkatan laut mencapai 90 persen. Berbeda dengan pangsa pasar angkatan luar negeri hingga kini masih dikuasai negara asing. Hal tersebut menjadi salah satu isu penting dalam diskusi panel Indonesian National Shipowners� Association (INSA) yang juga menjadi salah satu partisipan dalam gelaran acara Indonesian Tranport, Logistics, and Maritime Week (ITLMW) 2017, Selasa hingga Jum�at (10-13/10).
Selain itu, isu mengenai beyond cabotage, Sumber Daya Manusia (SDM) Maritim, dan Non Conventional Vessel Standards (NCVS) juga menjadi beberapa bahasan diskusi INSA yang menghadirkan sejumlah narasumber, diantaranya BPSDM Perhubungan yang diwakili oleh Ketua STIP, Badan Klasifikasi Indonesia (BKI), DPP INSA, dan perusahaan pelayaraan anggota INSA.
Bendahara Umum INSA, Nova Y. Mugijanto dalam pemaparannya mengatakan, kapal berbendera merah putih telah menguasai 90 persen pangsa pasar angkutan laut dalam negeri. Sedangkan pangsa pasar angkutan luar negeri masih dikuasi kapal asing. Oleh karena itu, beyond cabotage harus segera diimplementasikan agar kapal-kapal nasional dapat memberikan kontribusi besar terhadap perekonomian nasional.
�Program beyond cabotage perlu segera diimplementasikan agar terjaminnya peluang angkutan sehingga meningkatkan peran pelaku usaha dan penyedia jasa pelayaran nasional dalam kegiatan impor/ekspor dan mengurangi defisit neraca jasa transportasi sekaligus mempertegas kedaulatan maritim nasional,� papar Nova di Jakarta, Rabu (11/10/2017).
Seperti dikutip insa.or.id, iindustri pelayaran nasional terus mendorong Kementerian Perhubungan untuk segara menerapkan peraturan NCVS di Indonesia yang telah diluncurkan pada 2012 silam.
Dampak positif pengimplementasian NCVS antara lain, untuk menekan angka kecelakaan kapal di dalam negeri dan menjadi stimulus dalam pertumbuhan industri maritim seperti pelayaran, galangan dan pengadaan SDM kapal.
Dampak lainnya adalah menekan laju devisa ke luar negeri, mengingat sertifikasi kapal tidak lagi mengacu pada International Association of Classification Societies (IACS), melainkan dapat dilakukan oleh lembaga independen NCVS nasional yang dibentuk.
Terkait SDM Maritim, Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) Capt. Sahattua P. Simatupang menyebutkan pendidikan maritim yang berkualitas menjadi faktor penting dalam mewujudkan cita-cita pemerintah menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Capt. Sahattua menuturkan ditertbitkan Paket Kebijakan Ekonomi XV menjadi stimulus bagi perkembangan industri pelayaran. Dengan berkembangnya industri pelayaran nasional tentunya diiringi dengan meningkatnya permintaan akan SDM Pelaut. Maka dari itu, sekolah-sekolah pelayaran di Indonesia harus mampu menciptakan SDM Pelaut yang berkualitas.
�Kita optimis pelaut-pelaut kita lebih baik dibandingkan dengan negara-negara di kawasan Asia. Pendidikan maritim kita harus berkualitas,� tegas Capt. Sahattua.
Ketua Bidang Tug and Barge INSA, Hutakemri Ali Samad menambahkan pemerintah dan industri pelayaran nasional perlu memberikan perhatiannya kepada sekolah pelayaran khususnya swasta. Pasalnya, banyak sekolah pelayaran swasta nasional yang berkualitas tetapi tidak memiliki sarana yang memadai seperti simulator.
�Pengadaan simulator yang mahal menjadi salah satu kendala bagi sekolah pelayaran swasta,� pungkas Ali.
Diskusi ini diharapkan menjadi tempat bagi para pelaku industri pelayaran nasional untuk membahas isu, jaringan, dan strategi dalam menangkap peluang bisnis.(*)